Minggu, 21 Oktober 2012

Visi Habibie, Visi Teknologi Indonesia. (1)

Industri Teknologi Masa Depan

Prototype N250-IPTN
Daftar proyek teknologi tinggi yang akan dikerjakan Indonesia masih akan terus bertambah.
''Siapa yang melarang proyek-proyek canggih ini? Hayo, siapa?'' tanya Menristek B.J. Habibie dengan suara lantang di depan HUT Persatuan Insinyur Indonesia (PII) di Jakarta Convention Hall, saat itu.



''Saya heran, mengapa masih banyak orang yang masih salah mengerti tentang proyek yang hightech itu. Sebagai pimpinan, kita harus mengerti ke mana arah perkembangan teknologi itu. Kalau tidak dipikirkan dari sekarang, kita akan makin jauh tertinggal.'' Lebih lanjut Habibie menegaskan, ''Dalam pengembangan teknologi, kita tidak berbicara mengenai periode 5 tahun, 10 tahun, atau 25 tahun. Kita harus berpikir jangka panjang, demi kontinuitas generasi kita''. Maka, di depan hadirin, Habibie menggambarkan horizon yang memukau dalam masa yang tidak terlalu lama.


Ada proyek canggih dengan nama ANS (Aeronautic Navigation Satellite), satu satelit yang memonitor pesawat terbang yang tinggal landas dan mendarat, selama 24 jam tiap hari, di semua bandara di seluruh Indonesia. Ada proyek mega yang bisa menghasilkan 15.000 megawatt tenaga listrik dari Sungai Memberano, Irian Jaya. Ada proyek kereta api supercepat, yang melintasi jarak Jakarta- Surabaya hanya dalam delapan jam. Tapi yang paling mengusik imajinasi adalah Indonesia akan membikin pesawat jet, N-2130, un- tuk 130 penumpang, begitu fajar abad ke-21 menyingsing. Ini adalah pesawat yang kapasitas dan kemampuannya setaraf dengan pesawat DC-9 sekarang ini.


Suplemen ini akan membahas beberapa jenis industri strategis yang kontroversial akhir-akhir ini. Dengan alasan mempunyai kedudukan yang strategis, delapan industri yang dianggap berkadar teknologi tinggi dikelompokkan di bawah naungan Badan Pengelelola Industri Strategis (BPIS), yang langsung berada di bawah tanggung jawab Menristek B.J. Habibie. Mereka adalah PT Barata Indonesia, PT Boma Bisma Indra, PT Inka, PT Inti, PT IPTN, PT Krakatau Steel, PT LEN, dan PT Pal Indonesia.


Dari bidang industri yang dikelelola BPIS, terlihat bahwa fokus kegiatannya terutama di bidang telekomunikasi dan transportasi serta prasarana fisik untuk industri. Misi BPIS pada dasarnya adalah mengoordinasi industri-industri tersebut, sehingga operasinya bisa saling menunjang untuk memperoleh hasil yang optimal. Tapi tampaknya tidak mudah bagi BPIS untuk mendapatkan sinergi dari industri yang mencakup berbagai bidang teknologi itu dan yang mempunyai 47.000 tenaga kerja.


Pengalaman manajemen masih terbatas. Sebagian besar industri tersebut belum menghasilkan imbalan yang memadai dibandingkan investasi yang sudah dikeluarkan Pemerintah. Kontroversi muncul terutama karena strategi untuk industri strategis ini belum jelas. Sejauh mana kriteria komersial harus diberlakukan terhadap industri strategis ini? Sejauh mana industri strategis ini dianggap sebagai perusahaan industri biasa, dan sejauh mana dianggap sebagai proyek riset dan pengembangan? Dan kalau dianggap sebagai sebuah institusi in- dustri, sejauh mana dia harus dilindungi dari gelombang deregulasi? Kontroversi.


Sebuah Mimpi Ketika pemerintah Indonesia pada Agustus 1976 memutuskan untuk meresmikan pendirian pabrik kapal terbang Nurtanio, di Bandung, idenya cukup sederhana: menyatukan fasilitas yang sudah ada, termasuk divisi teknologi penerbangan Pertamina, sehingga dapat bekerja sebagai satu unit pabrik kapal terbang. Namun, ide ini kemudian berkembang menjadi sebuah mimpi. Mimpi yang ingin melihat Indonesia melakukan lompatan ke depan di bidang teknologi. Sebuah mimpi yang memang sah dan wajar. Bukankah mimpi yang kadang bisa menggebrak satu bangsa untuk melakukan terobosan ynag mencengangkan? Tanpa mimpi, suatu negeri mungkin hanya akan merupakan tempat yang sumpek dengan rutin.

Tapi mimpi ini mempunyai dimensi yang lain, karena mimpi ini berasal dari seorang insinyur Indonesia tamatan Aachen Technical University. Dia tinggal selama 18 tahun di Jerman sebelum balik ke Indonesia. Dia memperoleh gelar doktor, dan kariernya sempat menanjak sebagai Wakil Presiden Urusan Aplikasi Teknologi di MesserschmittBoelkow-Blohm GmbH (MBB), sebuah industri dirgantara Jerman. B.J Habibie, Menteri Negara Urusan Riset dan Teknologi, dengan latar belakang yang sarat teknologi, sudah membeberkan berulang-ulang visinya yang jelas tentang Indonesia di masa depan.

Habibie pernah berkata, ''Tugas saya adalah menjadikan mimpi bangsa Indonesia menjadi kenyataan. Saya tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam usaha ini''. Jerman yang serba teknik telah membentuk visi Habibie sebagaimana kampus Berkeley di California pada 1960-an telah mebentuk visi para ekonom Indonesia. Habibie ingin melihat Indonesia mampu membikin produk yang memukau: kapal terbang, kapal tangki, peluru kendali. Habibie percaya bahwa Indonesia tidak bisa cuma sekadar pembikin dan penjual garmen dan sepatu.


Visi Habibie sebagai orang yang mengendalikan kelompok industri strategis kemudian berkembang menjadi suatu konsep pembangunan ekonomi, yang menawarkan sebuah alternatif kebijaksanaan pembangunan yang berbeda dari yang dilakukan pemerintah Indonesia selama sepuluh tahun terakhir satu kebijaksanaan yang arsiteknya adalah kelompok ekonom-teknokrat, yang dengan pelan telah berhasil melepaskan ekonomi Indonesia dari belenggu birokrasi dan campur tangan negara yang menyesakkan, sehingga ekonomi Indonesia telah tumbuh dengan semarak selama ini.
Satu kebijaksanaan yang mengendalikan pengeluaran Pemerintah agar tidak melenceng dari sumber dan dana yang tersedia. Satu kebijaksanaan yang telah berhasil menyelamatkan keuangan negara dari kesulitan yang serius pada saat saat yang sulit. Kebijaksanaan alternatif yang dikemukakan Habibie dan penganutnya menjangkau dikotomi teori pembangunan ekonomi. Berbeda dengan konsep gradualis yang bilang bahwa Anda hanya bisa mem- bangun ekonomi hanya dengan bertahap, dan dengan membangunan industri yang mempunyai keunggulan komparatif, Habibie ingin menerapkan sebuah gebrakan (big push), membangun industri padat teknologi, untuk merebut nilai tambah yang lebih tinggi di pasaran internasional.


''Kalau pilihan teknologi tepat, dan berhasil mengembangkan daya saing industri prioritas, akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang cepat dan stabil,'' kata Habibie. Para pendukung Habibie mengemukakan bahwa industri yang sekarang ini berkembang di Indonesia merupakan industri kelas bawah, yang sekalipun bersifat padat karya, tidak memberikan dampak berarti bagi tumbuhnya lapangan kerja, karena jumlah tenaga kerja yang bertambah dua setengah juta orang tiap tahun tidak akan bisa diserap semuanya. Industri seperti ini, yang berorientasi ekspor, di samping menghasilkan nilai tambah yang rendah, toh akan selalu terancam tembok kuota negara-negara industri, dan karena mereka terpusat di sekitar Jakarta dan Jawa Barat, ikut memperburuk masalah kesenjangan pendapatan. Mereka menegaskan bahwa tanpa pembangunan industri yang padat teknologi, Indonesia akan kalah bersaing dengan Malaysia, Thailand, Cina, Vietnam, dan India.

Mereka percaya, negeri sebesar Indonesia tidak cukup mengandalkan pembangunan ekonominya hanya dari keunggulan komparatif. Pada saat trend yang berlangsung sekarang ini adalah meningkatnya kebijaksanaan deregulasi di mana-mana, dan diterimanya aksioma bahwa makin bebas ekonomi dari intervensi pemerintah makin lancar pertumbuhannya, golongan teknolog ini mendakwahkan norma-norma intervensionistis. Bagi mereka, proteksi dari pemerintah dan subsidi pemerintah adalah sah-sah saja. Dan menjadi lebih sah lagi bila Anda bicara soal industri padat teknologi yang strategis. Mereka memperkuat argumen mereka dengan menunjuk contoh yang dilakukan negara-negara industri sendiri, yang pemerintahnya ikut terlibat secara langsung dengan membiayai riset dan pengembangan teknologi.

Lalu, apabila industri sudah menggunakan hasil riset ini, pemerintah memberi proteksi pada tahap awalnya. Di negara mana pun, kata mereka, tak ada pemerintah yang netral terhadap pembangunan industri yang padat teknologi dan strategis. Tapi apakah sebenarnya yang dimaksud dengan industri strategis itu? Pengertian ini biasanya dikaitkan dengan dua hal: strategis karena perannya dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi, dan strategis karena faktor-faktor pertahanan dan keamanan. Untuk industri seperti ini, ukuran komersial yang konvensional menurut mereka kurang patut untuk diberlakukan guna mengukur kerberhasilannya. Untuk industri semacam ini, pemerintah harus bersedia melakukan intervensi. Pemerintah harus bersedia menanggung beban biaya investasi dalam riset dan pengembangan yang sangat mahal. Dan karena investasinya besar, tak akan ada perusahan swasta yang masuk. Hanya pemerintah yang mampu memulai. Tapi industri ini harus diberi subsidi, dan diberi proteksi. Dengan kata lain, pemerintah harus memihak dan menentukan pilihan favorit.

Para pengritik pandangan ini memusatkan argumennya pada dua hal: sampai sejauh mana pemerintah bersedia menanggung beban, dan sampai berapa lama. Argumen kedua, tindakan pemerintah dalam memihak kepada satu kepentingan industri tertentu dan melakukan diskriminasi pada akhirnya akan mengotori iklim investasi, dengan akibat hilangnya kepercayaan dan minat para in- vestor untuk menanam modal. Pemberian proteksi dan subsidi kepada suatu industri tidak akan merangsang industri yang bersangkutan untuk meningkatkan efisiensi. Industri seperti ini, menurut mereka, tak akan menghasilkan kemandirian yang kukuh. Kekuatannya tergantung patronisme dan koneksi politik. Karena tidak memberi imbalan yang memadai, investasi yang sudah telanjur tertanam diindustri ini hanya merupakan pemborosan.

Para pengritik kebijaksanaan Habibie khawatir bahwa industri strategis yang berada di bawah Habibie, seperti IPTN, hanya akan menjadi ''industri bonsai''. Istilah ini berasal dari jenis tanaman yang dengan berapa pun jumlah air yang disiramkan tetap tak akan tumbuh menjadi besar.
Para pengamat memperkirakan bahwa uang yang sudah dihabiskan untuk industri strategis ini mencapai US$ 2 miliar setahun. Ini lebih tinggi dari utang Indonesia di Bank Dunia tahun lalu, yang berjumlah US$ 1,6 miliar. Apabila pandangan kaum teknolog di bawah ''Ayatullah'' Habibie ini berhasil mempengaruhi kebijaksanaan ekonomi, kebijaksanaan ekonomi akan menyimpang dari arah yang sekarang ditempuh, sekalipun tidak akan menjadi titik balik. Alokasi dana tidak akan menjamin tingkat imbalan yang optimal. Barangkali karena inilah, pengembangan industri strategis tidak disebut-sebut dalam sepuluh pilar ekonomi Indonesia, seperti yang dikemukakan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad baru baru ini. Kurva Belajar Yang Panjang Beberapa industri strategis di Indonesia sudah melampui jalan yang cukup panjang untuk mencapai tahap yang dicapainya sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar